Dalam perspektif Hukum Koperasi
Indonesia, koperasi harus dipahami dalam 2 (dua) pengertian sekaligus; yaitu, pertama,
sebagai sebuah sistem ekonomi dan, kedua, sebagai suatu badan usaha.
Dua pengertian ini haruslah
dipahami sebagai dwi-tunggal, yang dapat dibedakan namun tidak dapat
dipisah-pisahkan satu dengan lainnya. Seringkali, untuk memberikan pemahaman
mengenai koperasi, koperasi dibandingkan dengan bentuk-bentuk badan usaha lain
misalnya Perseroan Terbatas (PT). Perbandingan sedemikian tentu saja
menghasilkan deskripsi mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing sesuai
karakteristiknya. Akan tetapi, sekadar membandingkan koperasi dengan badan
usaha lainnya tidak akan pernah menghasilkan suatu pemahaman yang utuh dan
menyeluruh tentang ruang-lingkupnya, terutama bila tidak terlebih dahulu
dipahami dua wajah koperasi dalam Hukum Koperasi Indonesia.
Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi
Dalam perspektif hukum, landasan
koperasi sebagai sebuah sistem ekonomi telah diatur sangat jelas dalam UUD 1945
Pasal 33. Pasal tersebut dengan ketiga ayatnya merupakan satu kesatuan dari
sistem norma hukum, tidak saja karena sejarah Republik yang telah
menggariskannya, tetapi karena di sanalah sebenarnya terletak ideologi ekonomi,
esensi keadilan bernegara, dan logika-logika kemerdekaan sebuah bangsa.
Terlepas dari upaya pengaburan hakikat Pasal 33 melalui hasil amandemen keempat
UUD 1945 pada 2002 dengan menambahkan dua ayat baru, pemahaman mengenai hakikat
asli Pasal 33 menjadi sangat penting.
Pernyataan Swasono (2007) bahwa
hakikat Pasal 33 UUD 1945 adalah wujud nasionalisme ekonomi Indonesia
mengandung pengertian berupa tekad kemerdekaan untuk mengganti asas perorangan
(individualisme) menjadi asas kebersamaan dan kekeluargaan. Usaha bersama atas
asas kekeluargaan adalah wujud kebersamaan, suatu mutualism and brotherhood;
bukan individualisme, melainkan saling menghormati dan peduli sesama serta
saling tolong-menolong sebagai sebuah kewajiban bersama. Pasal ini juga
dipandang telah memposisikan rakyat Indonesia secara substansial untuk
memperoleh sebesar-besar kemakmuran dari bumi, air dan kekayaan alam Indonesia.
Bila memperhatikan hakikat Pasal 33
tersebut, sangat jelas tampak sebuah keterkaitan yang erat antara Pasal 33,
khususnya ayat (1), dengan nilai utama koperasi, yaitu kerjasama. Koperasi
sebagai sebuah gerakan ekonomi yang berbasis anggota, memiliki prinsip dasar
mengedepankan kekuatan anggota untuk saling bekerjasama dalam memenuhi kesejahteraan
bersama secara mandiri. Bila dilihat sejarah konstitusi, khususnya penjelasan
UUD 1945 yang sebelum amandemen diakui keberadaannya, badan usaha yang sangat
sesuai dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Pasal 33 merupakan sikap founding
fathers yang menghendaki suatu transformasi badan usaha yang ada pada masa
itu ke arah Koperasi Indonesia.
Dalam pengertian ini, transformasi
tersebut tidak berarti mengubah semua badan usaha menjadi badan usaha koperasi,
namun sebenarnya menitikberatkan pada koperasi sebagai sebuah sistem ekonomi.
Swasono (2007) menyatakan bahwa dengan sistem ekonomi koperasi, bentuk-bentuk
perusahaan seperti PT, Firma, CV, BUMN, BUMD dan sebagainya dapat memiliki
bangun koperasi, dengan spirit internal dan jejaring esksternal yang berdasarkan
asas kebersamaan dan kekeluargaan sebagai sistem ekonomi nasional berdasarkan Triple
Co, yaitu: co-ownership, co-determination dan co-responsibility. Dengan
mewujudkan sistem ekonomi koperasi, maka koperasi sebagai sebuah badan usaha
juga akan tumbuh dan berkembang sebagai entitas bisnis.
Bila koperasi sebagai sistem
ekonomi kembali dikaitkan dengan pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa di
atas, sangat jelas bahwa sejauh ini upaya untuk menjalankan sistem ekonomi
koperasi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 telah gagal. Kegagalan ini
dapat dilihat dari pranata-pratana yang dibangun dan dikembangkan oleh
Pemerintah dalam menopang sistem ekonomi. Segala rezim, mulai dari Orde Baru
sampai sekarang, sangat jelas keberpihakannya kepada pengembangan
pranata-pranata yang menopang sistem ekonomi kapitalis liberal seperti
perbankan, pasar modal dan berbagai institusi keuangan lainnya. Tentu saja,
setiap rezim itu menyertakan dalam programnya pengembangan ekonomi kerakyatan.
Akan tetapi, sayangnya, sejarah mencatat keberpihakan kepada sistem ekonomi
kapitalis liberal terlalu sulit diingkari.
Koperasi Sebagai Badan Usaha
Dasar hukum koperasi sebagai sebuah
badan usaha terdapat dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU
Koperasi) dan berbagai peraturan pelaksananya. Dalam UU ini, koperasi
didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi, sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Terkait
koperasi sebagai badan usaha, Hatta (1933) menegaskan rakyat sebagai
produsen-produsen kecil harus bergabung membentuk koperasi (produksi). Dengan
cara ini, teknik baru dalam bidang produksi lebih mungkin untuk dikuasai daripada
dilakukan secara terpisah-pisah. Usaha bersama akan membangkitkan skala ekonomi
dan meningkatkan produktivitas. Dengan kekuatan ini, koperasi akan mampu
mempengaruhi pasar.
Dari pendapat Hatta ini, dapat
disimpulkan bahwa koperasi sebagai badan usaha sebenarnya tidak anti-pasar.
Untuk dapat berkompetisi dalam pasar, koperasi sebagai badan usaha harus mampu
membaca potensi anggota, mengkoordinasikan segala sumberdaya yang ada, dan
memetakan peluang usaha untuk memproduksi barang atau jasa secara mandiri. Pilihan
terhadap peluang usaha pertama-tama harus didasarkan pada kepentingan ekonomi
bersama anggotanya. Misalnya, jika sekelompok peternak sapi ingin mendirikan
koperasi, maka yang paling sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka adalah
usaha penjualan atau pengolahan susu sapi. Dalam konteks ini, koperasi harus
tunduk pada kaidah, prinsip dan logika entitas bisnis, di mana prinsip
manajemen yang profesional dan prinsip keuangan yang baik harus menjadi
landasan utama.
Bila dikaitkan kembali koperasi
sebagai sebuah badan usaha dengan pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa tadi,
sebahagian besar koperasi dalam perjalanan sejarah tidak tumbuh secara
profesional dan mandiri. Kegagalan negara menciptakan sistem ekonomi koperasi
tentu turut mempengaruhi perkembangan koperasi sebagai badan usaha. Semangat
kerjasama koperasi digilas oleh budaya pragmatisme yang tumbuh subur dalam
'ideologi' persaingan. Selain itu, keterlibatan pemerintah selama ini lebih
mengintervensi bentuk kelembagaan koperasi daripada membantu menyelesaikan
permasalahan utama koperasi, antara lain, akses pada modal dan pasar.
Sepak-terjang Koperasi Unit Desa (KUD) selama Orde Baru membuktikan betapa
koperasi lebih ditempatkan sebagai entitas politik daripada bisnis. Selain
permasalahan eksternal ini, secara internal banyak pengurus koperasi dalam
perkembangannya lebih tertarik mengurus usaha atau unit simpan-pinjam daripada
menciptakan usaha produktif.
***
Akhirnya, belajar mengenai
perseroan terbatas maupun bentuk-bentuk organisasi perusahaan lainnya -terutama
dalam alam pikiran dewasa ini di mana logika kapitalistik liberal sudah
merupakan keniscayaan- kiranya tidak memerlukan pengantar panjang-lebar
mengenai 'dasar-dasar ideologis dan filosofis' bagi berbagai pemahaman dan
pengertian yang terkandung di dalamnya. Hal ini jugalah yang membuat tugas
(pembelajaran) hukum koperasi Indonesia menjadi semakin berat. Sebelum memulai
dengan bahasan mengenai apa-dan-bagaimananya koperasi berfungsi sebagai sebuah
organisasi perusahaan, pembelajar harus susah-payah menjawab serentetan
pertanyaan terkait mengapa 'koperasi' sebagai gagasan dan kenyataan harus
muncul dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Akan tetapi, selama UUD 1945
Pasal 33 ayat 1 sampai 3 masih ada seperti sedia-kala, sampai kapan pun memang
itulah yang harus dikerjakan; karena, seperti yang telah dipesankan oleh
perancangnya sendiri, Hatta, "cita-cita koperasi Indonesia adalah
tantangan fundamental terhadap kapitalisme liberal!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar